Ada seorang gadis kecil bernama Anggi. Ketika dia sedang bermain di kamarnya dia mendengar Ibu memanggil dari dapur. Anggi bergegas keluar dari kamarnya.
"Anggi, kesini sebentar. Ibu mau tanya sama kamu," kata Ibu.
"Kenapa, Bu?" Anggi bertanya.
"Kamu tahu siapa yang makan kue untuk tamu?"
"Emm... enggak. Aku gak tahu." jawab Anggi.
"Apa kamu yang makan?" Ibu bertanya lagi.
"Enggak, Bu. Bukan aku yang makan." tangan Anggi gemetar. Dia memang tidak bisa berbohong dihadapan ibunya.
"Anggi, Ibu tahu kamu bohong. Yang punya kebiasaan berbohong itu pencuri. Polisi selalu bisa menangkap pencuri dan pencuri akan dihukum. Kamu tahu maksud Ibu 'kan?"
Anggi tidak mampu lagi menahan rasa bersalahnya. Dia mulai terisak perlahan.
"Iya, Bu. Aku yang makan kuenya! aku minta maaf."
"Sudah, sudah. Jangan nangis. Ibu marah kalau kamu bohong. Sekarang kamu udah jujur, semuanya udah beres sekarang. Ibu paling gak suka sama pembohong, jadi jangan bohong sama ibu lagi. Oke?"
"Oke" kata Anggi.
"Sekarang usap airmata kamu. Kita pergi belanja beli kue lagi."
"Iya, Bu."
Ibu Anggi baru saja melahirkan seorang bayi perempuan. Ketika dia pulang dari rumah sakit, Anggi merasa sangat senang.
"Ini Nana. Kamu sebagai kakak harus bisa jaga dan sayang sama adik kamu."
"Aku pasti akan selalu sayang sama Nana, Bu." jawab Nana.
Kehadiran Nana dalam kehidupan Anggi ternyata tidak membuat keadaan lebih baik. Ibu tidak lagi punya waktu untuk Anggi. Setiap malam Nana selalu menangis. Anggi sudah tidak tahan lagi mendengar tangisan Nana. Bahkan untuk belajar saja dia tidak bisa konsentrasi. Dia pikir sudah cukup segala gangguan ini.
"Ibu ! Aku muak dengar tangisan Nana ! Aku gak bisa belajar ! Bisa gak sih Ibu suruh Nana diam?!"
"Kamu harus mengerti, Nak. Nana masih bayi. Sebagai kakak kamu harus bisa sabar." kata Ibu.
"Ibu selalu aja sama Nana. Ibu udah gak punya waktu lagi buat aku. Aku juga mau sama Ibu juga, belanja sama Ibu, ke taman sama Ibu, tidur sama Ibu..." Anggi mulai menangis.
Giliran Ibu yang tidak tahan mendengar tangisan Anggi.
"Kamu udah cukup gede buat ke tempat yang kamu sebutin tadi sendirian. Sekarang kamu diam dan jangan manja !"
"Aku benci Ibu !" Anggi menjerit dalam tangisannya. Dia lari ke kamarnya dan membanting pintu kamar dan mengunci dirinya dalam kamar. Malam harinya dia tidak mau keluar kamar untuk makan malam. Semalaman dia hanya berada di kamarnya dan merenungi keberadaan Nana.
Malam itu Anggi bermimpi buruk. Dalam mimpinya, dia berjalan didalam rumahnya dalam kegelapan. Dia masuk ke kamar Ibu dan berjingkat menuju ranjang bayi. Dia menggendong Nana dan membawanya keluar kamar. Anggi membuka pintu belakang rumah dan membawa Nana ke kebun. Dibawah temaram bulan, dia mengambil cangkul di gudang, menggali lubang kecil di rerumputan yang basah dan mengubur adik kecilnya hidup-hidup.
Ketika terbangun pada pagi harinya. Anggi gemetaran dan berkeringat dingin. Perutnya terasa mual. Mimpi yang dia alami semalam terasa sangat nyata. Dia benar-benar ketakutan.
"Ibu benar, Nana itu masih bayi. Aku kakaknya. Aku harus belajar supaya bisa lebih sabar lagi. Aku akan minta maaf sama Ibu." pikir Anggi disela-sela lamunannya.
Pada saat itu juga, Ibu masuk ke kamar Anggi. Airmata membasahi pipinya.
"Anggi, kamu lihat Nana? Ibu bangun tadi pagi, dia gak ada di ranjangnya. Kamu tahu dia kemana?"
Anggi menggelengkan kepalanya.
"Kamu yakin? Kamu benar-benar gak tahu? Kamu berani sumpah?" pertanyaan-pertanyaan itu memburu Anggi.
"Iya, Bu. Aku berani sumpah." Anggi menjawab lemah.
"Iya sudah, bantu Ibu cari Nana." kata Ibu.
Mereka mencari Nana di semua ruangan yang ada di rumah itu. Mereka juga sampai mencari ke jalan di depan rumah namun Nana tidak ditemukan dimanapun. Akhirnya Ibu mulai lemas karena panik dia mulai menangis dan menjerit tidak terkendali.
"Kemana Nana?! Dia bahkan belum bisa jalan ! Gimana bisa dia hilang ?!"
Melihat tingkah Ibu, tangan Anggi bergetar.
"Anggi ! kamu pasti tahu sesuatu ! Kamu tahu 'kan kemana Nana?!" Ibu membentak Anggi.
"Enggak, Bu. Aku gak tahu apa-apa."
"Anggi, sudah Ibu bilang kamu gak boleh bohong lagi !" bentakan Ibu semakin keras.
"Aku enggak bohong" Anggi menjawab lirih.
"Ibu tahu kamu bohong ! kasih tau Ibu Nana ada dimana?!"
Anggi tidak bisa menahan lagi. Dia melihat keluar jendela dan menunjuk ke arah gundukan kecil di kebun rumah.
"Enggak! Ya Tuhan ! Enggak Mungkin !" Ibu menangis tidak karuan.
"Ibu !" Anggi ikut menangis, dia berusaha menggenggam tangan ibunya."
"Jangan sentuh saya !! kamu bunuh anak saya ! kamu bunuh karena kamu cemburu 'kan?!"
"Enggak, Bu. Aku enggak bermaksud begitu !"
Ibu gelap mata dalam kemarahannya. Dia menggenggam leher Anggi dan mencekik Anggi dengan keras. Dia cekik dan terus mencekik hingga dia tidak mampu mencekik lagi. Ketika dia tersadar dengan apa yang dia lakukan, Anggi sudah terbaring kaku di lantai dapur.
Tiba-tiba suara bel pintu berbunyi. Ibu beranjak ke pintu depan untuk melihat siapa diluar. Dibalik pintu, ternyata tetangganya yang baik. Menggendong Nana.
"Saya lihat dia merangkak keluar rumah, sepertinya dia merangkak keluar ketika subuh tadi. Untung aja saya lihat. Alhamdulillah gak ada kejadian buruk yang menimpa. Iya kan, Bu? Oh iya, Anggi mana? Katanya dia mau ikut pergi ke taman."
"Anggi, kesini sebentar. Ibu mau tanya sama kamu," kata Ibu.
"Kenapa, Bu?" Anggi bertanya.
"Kamu tahu siapa yang makan kue untuk tamu?"
"Emm... enggak. Aku gak tahu." jawab Anggi.
"Apa kamu yang makan?" Ibu bertanya lagi.
"Enggak, Bu. Bukan aku yang makan." tangan Anggi gemetar. Dia memang tidak bisa berbohong dihadapan ibunya.
"Anggi, Ibu tahu kamu bohong. Yang punya kebiasaan berbohong itu pencuri. Polisi selalu bisa menangkap pencuri dan pencuri akan dihukum. Kamu tahu maksud Ibu 'kan?"
Anggi tidak mampu lagi menahan rasa bersalahnya. Dia mulai terisak perlahan.
"Iya, Bu. Aku yang makan kuenya! aku minta maaf."
"Sudah, sudah. Jangan nangis. Ibu marah kalau kamu bohong. Sekarang kamu udah jujur, semuanya udah beres sekarang. Ibu paling gak suka sama pembohong, jadi jangan bohong sama ibu lagi. Oke?"
"Oke" kata Anggi.
"Sekarang usap airmata kamu. Kita pergi belanja beli kue lagi."
"Iya, Bu."
Ibu Anggi baru saja melahirkan seorang bayi perempuan. Ketika dia pulang dari rumah sakit, Anggi merasa sangat senang.
"Ini Nana. Kamu sebagai kakak harus bisa jaga dan sayang sama adik kamu."
"Aku pasti akan selalu sayang sama Nana, Bu." jawab Nana.
Kehadiran Nana dalam kehidupan Anggi ternyata tidak membuat keadaan lebih baik. Ibu tidak lagi punya waktu untuk Anggi. Setiap malam Nana selalu menangis. Anggi sudah tidak tahan lagi mendengar tangisan Nana. Bahkan untuk belajar saja dia tidak bisa konsentrasi. Dia pikir sudah cukup segala gangguan ini.
"Ibu ! Aku muak dengar tangisan Nana ! Aku gak bisa belajar ! Bisa gak sih Ibu suruh Nana diam?!"
"Kamu harus mengerti, Nak. Nana masih bayi. Sebagai kakak kamu harus bisa sabar." kata Ibu.
"Ibu selalu aja sama Nana. Ibu udah gak punya waktu lagi buat aku. Aku juga mau sama Ibu juga, belanja sama Ibu, ke taman sama Ibu, tidur sama Ibu..." Anggi mulai menangis.
Giliran Ibu yang tidak tahan mendengar tangisan Anggi.
"Kamu udah cukup gede buat ke tempat yang kamu sebutin tadi sendirian. Sekarang kamu diam dan jangan manja !"
"Aku benci Ibu !" Anggi menjerit dalam tangisannya. Dia lari ke kamarnya dan membanting pintu kamar dan mengunci dirinya dalam kamar. Malam harinya dia tidak mau keluar kamar untuk makan malam. Semalaman dia hanya berada di kamarnya dan merenungi keberadaan Nana.
Malam itu Anggi bermimpi buruk. Dalam mimpinya, dia berjalan didalam rumahnya dalam kegelapan. Dia masuk ke kamar Ibu dan berjingkat menuju ranjang bayi. Dia menggendong Nana dan membawanya keluar kamar. Anggi membuka pintu belakang rumah dan membawa Nana ke kebun. Dibawah temaram bulan, dia mengambil cangkul di gudang, menggali lubang kecil di rerumputan yang basah dan mengubur adik kecilnya hidup-hidup.
Ketika terbangun pada pagi harinya. Anggi gemetaran dan berkeringat dingin. Perutnya terasa mual. Mimpi yang dia alami semalam terasa sangat nyata. Dia benar-benar ketakutan.
"Ibu benar, Nana itu masih bayi. Aku kakaknya. Aku harus belajar supaya bisa lebih sabar lagi. Aku akan minta maaf sama Ibu." pikir Anggi disela-sela lamunannya.
Pada saat itu juga, Ibu masuk ke kamar Anggi. Airmata membasahi pipinya.
"Anggi, kamu lihat Nana? Ibu bangun tadi pagi, dia gak ada di ranjangnya. Kamu tahu dia kemana?"
Anggi menggelengkan kepalanya.
"Kamu yakin? Kamu benar-benar gak tahu? Kamu berani sumpah?" pertanyaan-pertanyaan itu memburu Anggi.
"Iya, Bu. Aku berani sumpah." Anggi menjawab lemah.
"Iya sudah, bantu Ibu cari Nana." kata Ibu.
Mereka mencari Nana di semua ruangan yang ada di rumah itu. Mereka juga sampai mencari ke jalan di depan rumah namun Nana tidak ditemukan dimanapun. Akhirnya Ibu mulai lemas karena panik dia mulai menangis dan menjerit tidak terkendali.
"Kemana Nana?! Dia bahkan belum bisa jalan ! Gimana bisa dia hilang ?!"
Melihat tingkah Ibu, tangan Anggi bergetar.
"Anggi ! kamu pasti tahu sesuatu ! Kamu tahu 'kan kemana Nana?!" Ibu membentak Anggi.
"Enggak, Bu. Aku gak tahu apa-apa."
"Anggi, sudah Ibu bilang kamu gak boleh bohong lagi !" bentakan Ibu semakin keras.
"Aku enggak bohong" Anggi menjawab lirih.
"Ibu tahu kamu bohong ! kasih tau Ibu Nana ada dimana?!"
Anggi tidak bisa menahan lagi. Dia melihat keluar jendela dan menunjuk ke arah gundukan kecil di kebun rumah.
"Enggak! Ya Tuhan ! Enggak Mungkin !" Ibu menangis tidak karuan.
"Ibu !" Anggi ikut menangis, dia berusaha menggenggam tangan ibunya."
"Jangan sentuh saya !! kamu bunuh anak saya ! kamu bunuh karena kamu cemburu 'kan?!"
"Enggak, Bu. Aku enggak bermaksud begitu !"
Ibu gelap mata dalam kemarahannya. Dia menggenggam leher Anggi dan mencekik Anggi dengan keras. Dia cekik dan terus mencekik hingga dia tidak mampu mencekik lagi. Ketika dia tersadar dengan apa yang dia lakukan, Anggi sudah terbaring kaku di lantai dapur.
Tiba-tiba suara bel pintu berbunyi. Ibu beranjak ke pintu depan untuk melihat siapa diluar. Dibalik pintu, ternyata tetangganya yang baik. Menggendong Nana.
"Saya lihat dia merangkak keluar rumah, sepertinya dia merangkak keluar ketika subuh tadi. Untung aja saya lihat. Alhamdulillah gak ada kejadian buruk yang menimpa. Iya kan, Bu? Oh iya, Anggi mana? Katanya dia mau ikut pergi ke taman."
Hanya ilustrasi semata, bukan Anggi dan Nana |
Comments
Post a Comment
Share your fear please.... :)